Pekan Ini Bulog Bakal Impor Daging JAKARTA-Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berencana mengimpor daging sapi yang tidak ku...
Pekan Ini Bulog Bakal Impor Daging
JAKARTA-Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berencana mengimpor daging sapi yang tidak kurang dari 200 ton dari total kuota impor Bulog di 2013 sebanyak 3.000 ton pada pekan ini. Â Langkah ini ditempuh menjaga jumlah pasokan daging untuk memenuhi kebutuhan sepanjang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. "Impor daging sapi yang sudah terjadwal sebanyak 100 ton lebih melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Sisanya melalui Bandara Soekarno-Hatta. Pekan ini total (impor) sekitar 200 ton lebih," kata Direktur Utama Bulog, Sutarto Alimoeso, Minggu (21/7). Menyinggung soal rendahnya minat para pedagang untuk menjajakan daging impor dari Bulog, kata Sutarto, dirinya enggan untuk berkomentar terkait hal tersebut. Dia hanya menegaskan, saat ini pihaknya sudah berupaya menjaga pasokan dengan mengimpor 40 ton daging sapi dari total kuota impor sebanyak 3.000 ton. "Minggu kemarin sudah datang lagi 20 ton," kata Sutarto sembari menyebutkan bahwa pasokan daging dari luar negeri akan terus masuk ke Tanah Air sesuai dengan target impor hingga akhir Desember 2013. Dia mengatakan, saat Bulog melakukan perannya dalam mengimpor daging sapi, banyak pihak yang dengan sengaja menggulirkan rumor bahwa kualitas daging Bulog lebih buruk dan tidak halal. "Banyak yang memunculkan isu itu. Mungkin ada yang merasa kenapa Bulog bisa jual lebih murah, padahal menggunakan pesawat," katanya. Kendati demikian, lanjut Sutarto, pendistribusian daging sapi potong tidak hanya terfokus di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Untuk wilayah di Jawa Barat lainnya, kalau memang masih kurang, kami siap untuk memasok," ucapnya. Sementara itu di tempat terpisah, Peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengatakan pemerintah juga memberlakukan pemberian insentif kepada peternak lokal. Menurut dia, pada dasarnya pemberlakuan kebijakan impor daging sapi bukan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan kelangkaan pasokan yang terjadi secara berulang. Â Untuk itu kata Eko, sebelum membarlakukan impor semestinya pemerintah juga harus mengetahui data sebernarnya terkait ketersediaan pasokan. Pasalnya, lanjut dia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah sapi mencukupi untuk kebutuhan domestik. Namun, sapi-sapi tersebut umumnya dimiliki para peternak rumahan yang tidak siap dipotong. "Memang data itu agak runyam, karena datanya tidak match antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian," kata Eko. Kartel Kondisi ini, lanjut dia, justru dimanfaatkan para kartel untuk meraih keuntungan sebesar-sebesarnya melalui cara-cara memonopoli pasokan. "Akhirnya, hal ini malah merugikan peternak dan konsumen," imbuhnya. Dalam upaya menjaga ketersediaan pasokan daging sapi, kata Eko, penggunaan sistem tarif memang akan lebih baik dibandingkan menggunakan sistem kuota yang cenderung menimbulkan praktik kartel. Akan tetapi, jelas dia, jika menggunakan sistem tarif, maka jumlah importir tidak akan dibatasi dan siapapun bisa melakukan impor asal terdaftar sebagai impotir resmi. "Setahu saya, sistem tarif ini setiap impor dikenakan tarif beberapa persen. Kalau misalnya melihat peternak meningkatkan produksinya, tarifnya [impor] dinaikkan. Dengan mekanisme ini agak susah melakukan kartel, karena banyak pemainnya. Kan kartel itu terbentuk karena pemainnya sedikit," paparnya. Eko berharap, pemerintah harus tetap memperhatikan peternak dengan memberikan insentif untuk pengembangan ternaknya, karena selama ini peternak kesulitan untuk mendapatkan bibit. Kalau kebijakan pemberian insentif ini tidak diberlakukan, kata dia, kemungkinan besar peternak lokal akan beralih pada kegiatan bisnis lainnya, karena berternak sapi dianggap tidak kompetitif. "Jadi harus diperhatikan impor ini jangan mendistorsi pasar yang sudah ada. Harus ada insentif bagi peternak untuk mengembangkan. Kalau tidak dapat akhirnya mereka beralih profesi. Jadi kembali lagi, datanya harus akurat, kalau daging dalam negeri mencukupi, tarif dinaikkan," tutur Eko. (gam/bud)
JAKARTA-Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berencana mengimpor daging sapi yang tidak kurang dari 200 ton dari total kuota impor Bulog di 2013 sebanyak 3.000 ton pada pekan ini. Â Langkah ini ditempuh menjaga jumlah pasokan daging untuk memenuhi kebutuhan sepanjang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. "Impor daging sapi yang sudah terjadwal sebanyak 100 ton lebih melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Sisanya melalui Bandara Soekarno-Hatta. Pekan ini total (impor) sekitar 200 ton lebih," kata Direktur Utama Bulog, Sutarto Alimoeso, Minggu (21/7). Menyinggung soal rendahnya minat para pedagang untuk menjajakan daging impor dari Bulog, kata Sutarto, dirinya enggan untuk berkomentar terkait hal tersebut. Dia hanya menegaskan, saat ini pihaknya sudah berupaya menjaga pasokan dengan mengimpor 40 ton daging sapi dari total kuota impor sebanyak 3.000 ton. "Minggu kemarin sudah datang lagi 20 ton," kata Sutarto sembari menyebutkan bahwa pasokan daging dari luar negeri akan terus masuk ke Tanah Air sesuai dengan target impor hingga akhir Desember 2013. Dia mengatakan, saat Bulog melakukan perannya dalam mengimpor daging sapi, banyak pihak yang dengan sengaja menggulirkan rumor bahwa kualitas daging Bulog lebih buruk dan tidak halal. "Banyak yang memunculkan isu itu. Mungkin ada yang merasa kenapa Bulog bisa jual lebih murah, padahal menggunakan pesawat," katanya. Kendati demikian, lanjut Sutarto, pendistribusian daging sapi potong tidak hanya terfokus di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. "Untuk wilayah di Jawa Barat lainnya, kalau memang masih kurang, kami siap untuk memasok," ucapnya. Sementara itu di tempat terpisah, Peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Eko Listiyanto mengatakan pemerintah juga memberlakukan pemberian insentif kepada peternak lokal. Menurut dia, pada dasarnya pemberlakuan kebijakan impor daging sapi bukan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan kelangkaan pasokan yang terjadi secara berulang. Â Untuk itu kata Eko, sebelum membarlakukan impor semestinya pemerintah juga harus mengetahui data sebernarnya terkait ketersediaan pasokan. Pasalnya, lanjut dia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah sapi mencukupi untuk kebutuhan domestik. Namun, sapi-sapi tersebut umumnya dimiliki para peternak rumahan yang tidak siap dipotong. "Memang data itu agak runyam, karena datanya tidak match antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian," kata Eko. Kartel Kondisi ini, lanjut dia, justru dimanfaatkan para kartel untuk meraih keuntungan sebesar-sebesarnya melalui cara-cara memonopoli pasokan. "Akhirnya, hal ini malah merugikan peternak dan konsumen," imbuhnya. Dalam upaya menjaga ketersediaan pasokan daging sapi, kata Eko, penggunaan sistem tarif memang akan lebih baik dibandingkan menggunakan sistem kuota yang cenderung menimbulkan praktik kartel. Akan tetapi, jelas dia, jika menggunakan sistem tarif, maka jumlah importir tidak akan dibatasi dan siapapun bisa melakukan impor asal terdaftar sebagai impotir resmi. "Setahu saya, sistem tarif ini setiap impor dikenakan tarif beberapa persen. Kalau misalnya melihat peternak meningkatkan produksinya, tarifnya [impor] dinaikkan. Dengan mekanisme ini agak susah melakukan kartel, karena banyak pemainnya. Kan kartel itu terbentuk karena pemainnya sedikit," paparnya. Eko berharap, pemerintah harus tetap memperhatikan peternak dengan memberikan insentif untuk pengembangan ternaknya, karena selama ini peternak kesulitan untuk mendapatkan bibit. Kalau kebijakan pemberian insentif ini tidak diberlakukan, kata dia, kemungkinan besar peternak lokal akan beralih pada kegiatan bisnis lainnya, karena berternak sapi dianggap tidak kompetitif. "Jadi harus diperhatikan impor ini jangan mendistorsi pasar yang sudah ada. Harus ada insentif bagi peternak untuk mengembangkan. Kalau tidak dapat akhirnya mereka beralih profesi. Jadi kembali lagi, datanya harus akurat, kalau daging dalam negeri mencukupi, tarif dinaikkan," tutur Eko. (gam/bud)