Menimbang Keputusan KPU atas Dukungan Ganda SURABAYA - Pilkada bukan pilkadal. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah yang bersifat demokrat...
Menimbang Keputusan KPU atas Dukungan Ganda
SURABAYA - Pilkada bukan pilkadal. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah yang bersifat demokratis, sedangkan pilkadal adalah pemilihan kepala daerah ala kadal yang bersifat akal-akalan. Pilkadal merupakan bukti kuat bahwa demokrasi itu hanya mudah diucapkan, tetapi "fair" dalam praktik itu sangat sulit, bahkan dukungan ganda dari parpol kepada sang calon pun menjadi modus. Di Kabupaten Puncak, Papua, modus dukungan ganda sudah berlangsung dalam Pilkada 2011 karena Partai Gerindra memberikan dukungan ganda kepada dua kandidat, yaitu Simon Alom dan Elvis Tabuni. Akibatnya, kelompok massa Simon Alom dan Alvis Tabuni terlibat konflik berdarah selama berbulan-bulan hingga menewaskan puluhan orang, bahkan hampir seluruh fasilitas milik pemerintah di daerah itu dibakar dan dirusak massa. Indikasi serupa agaknya juga ditemukan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Lampung terkait dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2013. Hasil pemantauan KIPP Lampung pada pelaksanaan Pilkada Provinsi Lampung 2013, khususnya pada tahapan pendaftaran Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, mencatat dukungan ganda partai politik kepada tiga pasangan calon, yakni partai PPPI, Barnas, PKP, PMB, Pelopor, PIS, PPI, PRN, dan Partai Buruh. "Partai-partai itu mendukung pasangan Herman H.N.-Zainudin Hasan, dan pasangan M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri," kata Ketua KIPP Provinsi Lampung Ihsan Kurniadi di Bandarlampung (1/7). Tidak hanya itu, dukungan ganda juga terjadi pada Partai Pelopor, PPPI, dan PPI yang mengusung pasangan Berlian Tihang-Mukhlis Basri dalam Pilkada Lampung 2013. Di Palu, tiga pasangan bakal Calon Bupati Donggala, Sulawesi Tengah, periode 2013--2018, terindikasi menerima dukungan ganda dari partai politik pengusung. "Ketiga pasangan tersebut adalah Burhanuddin Lamadjido-Ta'rifin Masuara, Kasmuddin-Abubakar Al-Djufri, dan pasangan Ilham Pettalolo-Kaharuddin," kata Ketua KPU Donggala Mahfud Masuara di Palu (3/7). Partai yang memberikan dukungan ganda di Palu adalah Partai Demokrat dan Partai Patriot. Partai Demokrat mengajukan dua pasangan calon masing-masing pasangan Kasmuddin-Abubakar dengan pasangan Anita Nurdin-Abd Chair. Kasmuddin-Abubakar direkomendasikan oleh Pelaksana Tugas Ketua DPC Demokrat Donggala, sedangkan Anita Nurdin-Abd Chair direkomendasikan oleh mantan Ketua DPC Demokrat yang oleh DPP partai itu sudah diganti. Lain halnya dengan Partai Patriot. Sekjen Patriot dan Wakil Sekjen Patriot di Jakarta memberikan pendapat yang berbeda terhadap mekanisme pengajuan calon bupati sehingga satu kepengurusan Patriot mengusung pasangan Kasmudin-Abubakar dan satu kepengurusan lagi mengusung pasangan Burhanuddin Lamadjido-Ta'rifin Masuara. Agaknya, modus dukungan ganda itu memungkinkan berbagai bentuk manipulasi dan rekayasa politik yang menodai demokrasi. Oleh karena itu, KPU Pusat perlu membuat aturan main yang dapat mencegah parpol atau calon kepala daerah untuk "mempermainkan" demokrasi, apalagi secara transaksional. Antidemokrasi Hal yang sama juga terjadi dalam pilkada di Jawa Timur, bahkan "permainan" antidemokrasi itu terlihat dalam berbagai pilkada, di antaranya Pilkada Kabupaten Mojokerto yang menyebabkan pembakaran sejumlah mobil dinas. Atau, Pilkada Bangkalan, Batu, dan Bondowoso. Tidak hanya itu, "permainan" antidemokrasi dengan modus dukungan ganda juga membuat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur mencoret pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja untuk mengikuti pilkada setempat karena dinilai tidak memenuhi syarat dukungan. "Sesuai dengan hasil keputusan pleno, ada tiga nama pasangan yang lolos, yakni Eggi Sudjana-M. Sihat, Bambang D.H.-Said Abdullah, dan Soekarwo-Saifullah Yusuf," ujar Ketua KPU Jatim Andry Dewanto Ahmad saat konferensi pers setelah sidang pleno di Kantor KPU Jatim (15/7). Pencoretan pasangan Khofifah-Herman itu terkait dengan dukungan ganda dari DPD Partai Kedaulatan (PK) Jatim dan DPW Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Jatim, bahkan keputusan pencoretan itu berlangsung alot hingga akhirnya diputuskan secara "voting". "Hasilnya, tiga komisoner menyatakan Khofifah tidak memenuhi syarat, satu komisioner menyatakan Khofifah memenuhi syarat, dan satu komisioner berpendapat dukungan PK ke Khofifah. Namun, PPNUI pendukung Khofifah tidak memenuhi syarat," katanya. Hasil voting KPU Jatim terkait dengan dukungan ganda yang menunjukkan adanya pandangan berbeda dari para komisioner itu agaknya memperkuat dugaan adanya hukum yang politis (bermain dalam celah regulasi), bukan hukum yang sosiologis (adil). Apalagi, modus dukungan ganda itu berasal dari calon yang secara politis sudah memiliki dukungan cukup, tentu akan berbeda bila modus dukungan ganda itu berasal dari calon yang sama-sama kekurangan dukungan. Oleh karena itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi menilai elite politik di Jawa Timur belum siap berdemokrasi dengan terhadangnya pasangan Khofifah-Herman untuk maju dalam Pilkada Jatim. "Terhadangnya Khofifah-Herman adalah imbas dari indikasi tampilnya ketidaksantunan politik yang tidak menginginkan untuk berkompetisi secara fair," katanya di Surabaya (15/7). Menurut Airlangga Pribadi yang juga pengajar pada Departemen Politik FISIP Unair itu, ketidaksiapan elite politik berkompetisi itu menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi masih belum menjadi habitus (kebiasaan) dari elite politik di Jatim, apalagi dikemas dengan alasan regulasi untuk membenarkan ketidaksiapan itu. "Keputusan KPU memperlihatkan bahwa jajaran KPU Provinsi Jatim tidak melihat persoalan ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dengan mempertimbangkan begitu jelasnya berbagai kejanggalan-kejanggalan dalam proses seleksi kandidat," katanya. Mestinya, kata kandidat doktor (Ph.D.) pada Asia Research Center Murdoch University itu, KPU dapat menjaga integritas dengan berani mengambil langkah untuk mengulangi kembali dari awal proses pencalonan, khususnya calon terkait dengan dukungan ganda. "Mestinya KPU perlu melihat proses penjegalan politik melalui 'pembajakan' dukungan terhadap partai-partai nonparlemen yang sudah mendukung Khofifah-Herman sejak awal, lalu ada calon lain mengajukan nama yang sama dengan memainkan regulasi. Oleh karena itu, KPU harus mengulang untuk netralitas," katanya. Agaknya, pekerjaan rumah bagi KPU untuk menjadi penyelenggara pilkada dan bukan penyelenggara pilkadal masih cukup panjang karena peraturan yang melandasi keputusan-keputusannya masih belum kebal dari "permainan" yang seolah-olah halal, tetapi sejatinya menghalalkan segala cara. (ant/dik)
SURABAYA - Pilkada bukan pilkadal. Pilkada adalah pemilihan kepala daerah yang bersifat demokratis, sedangkan pilkadal adalah pemilihan kepala daerah ala kadal yang bersifat akal-akalan. Pilkadal merupakan bukti kuat bahwa demokrasi itu hanya mudah diucapkan, tetapi "fair" dalam praktik itu sangat sulit, bahkan dukungan ganda dari parpol kepada sang calon pun menjadi modus. Di Kabupaten Puncak, Papua, modus dukungan ganda sudah berlangsung dalam Pilkada 2011 karena Partai Gerindra memberikan dukungan ganda kepada dua kandidat, yaitu Simon Alom dan Elvis Tabuni. Akibatnya, kelompok massa Simon Alom dan Alvis Tabuni terlibat konflik berdarah selama berbulan-bulan hingga menewaskan puluhan orang, bahkan hampir seluruh fasilitas milik pemerintah di daerah itu dibakar dan dirusak massa. Indikasi serupa agaknya juga ditemukan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Lampung terkait dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2013. Hasil pemantauan KIPP Lampung pada pelaksanaan Pilkada Provinsi Lampung 2013, khususnya pada tahapan pendaftaran Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, mencatat dukungan ganda partai politik kepada tiga pasangan calon, yakni partai PPPI, Barnas, PKP, PMB, Pelopor, PIS, PPI, PRN, dan Partai Buruh. "Partai-partai itu mendukung pasangan Herman H.N.-Zainudin Hasan, dan pasangan M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri," kata Ketua KIPP Provinsi Lampung Ihsan Kurniadi di Bandarlampung (1/7). Tidak hanya itu, dukungan ganda juga terjadi pada Partai Pelopor, PPPI, dan PPI yang mengusung pasangan Berlian Tihang-Mukhlis Basri dalam Pilkada Lampung 2013. Di Palu, tiga pasangan bakal Calon Bupati Donggala, Sulawesi Tengah, periode 2013--2018, terindikasi menerima dukungan ganda dari partai politik pengusung. "Ketiga pasangan tersebut adalah Burhanuddin Lamadjido-Ta'rifin Masuara, Kasmuddin-Abubakar Al-Djufri, dan pasangan Ilham Pettalolo-Kaharuddin," kata Ketua KPU Donggala Mahfud Masuara di Palu (3/7). Partai yang memberikan dukungan ganda di Palu adalah Partai Demokrat dan Partai Patriot. Partai Demokrat mengajukan dua pasangan calon masing-masing pasangan Kasmuddin-Abubakar dengan pasangan Anita Nurdin-Abd Chair. Kasmuddin-Abubakar direkomendasikan oleh Pelaksana Tugas Ketua DPC Demokrat Donggala, sedangkan Anita Nurdin-Abd Chair direkomendasikan oleh mantan Ketua DPC Demokrat yang oleh DPP partai itu sudah diganti. Lain halnya dengan Partai Patriot. Sekjen Patriot dan Wakil Sekjen Patriot di Jakarta memberikan pendapat yang berbeda terhadap mekanisme pengajuan calon bupati sehingga satu kepengurusan Patriot mengusung pasangan Kasmudin-Abubakar dan satu kepengurusan lagi mengusung pasangan Burhanuddin Lamadjido-Ta'rifin Masuara. Agaknya, modus dukungan ganda itu memungkinkan berbagai bentuk manipulasi dan rekayasa politik yang menodai demokrasi. Oleh karena itu, KPU Pusat perlu membuat aturan main yang dapat mencegah parpol atau calon kepala daerah untuk "mempermainkan" demokrasi, apalagi secara transaksional. Antidemokrasi Hal yang sama juga terjadi dalam pilkada di Jawa Timur, bahkan "permainan" antidemokrasi itu terlihat dalam berbagai pilkada, di antaranya Pilkada Kabupaten Mojokerto yang menyebabkan pembakaran sejumlah mobil dinas. Atau, Pilkada Bangkalan, Batu, dan Bondowoso. Tidak hanya itu, "permainan" antidemokrasi dengan modus dukungan ganda juga membuat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur mencoret pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja untuk mengikuti pilkada setempat karena dinilai tidak memenuhi syarat dukungan. "Sesuai dengan hasil keputusan pleno, ada tiga nama pasangan yang lolos, yakni Eggi Sudjana-M. Sihat, Bambang D.H.-Said Abdullah, dan Soekarwo-Saifullah Yusuf," ujar Ketua KPU Jatim Andry Dewanto Ahmad saat konferensi pers setelah sidang pleno di Kantor KPU Jatim (15/7). Pencoretan pasangan Khofifah-Herman itu terkait dengan dukungan ganda dari DPD Partai Kedaulatan (PK) Jatim dan DPW Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Jatim, bahkan keputusan pencoretan itu berlangsung alot hingga akhirnya diputuskan secara "voting". "Hasilnya, tiga komisoner menyatakan Khofifah tidak memenuhi syarat, satu komisioner menyatakan Khofifah memenuhi syarat, dan satu komisioner berpendapat dukungan PK ke Khofifah. Namun, PPNUI pendukung Khofifah tidak memenuhi syarat," katanya. Hasil voting KPU Jatim terkait dengan dukungan ganda yang menunjukkan adanya pandangan berbeda dari para komisioner itu agaknya memperkuat dugaan adanya hukum yang politis (bermain dalam celah regulasi), bukan hukum yang sosiologis (adil). Apalagi, modus dukungan ganda itu berasal dari calon yang secara politis sudah memiliki dukungan cukup, tentu akan berbeda bila modus dukungan ganda itu berasal dari calon yang sama-sama kekurangan dukungan. Oleh karena itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Airlangga Pribadi menilai elite politik di Jawa Timur belum siap berdemokrasi dengan terhadangnya pasangan Khofifah-Herman untuk maju dalam Pilkada Jatim. "Terhadangnya Khofifah-Herman adalah imbas dari indikasi tampilnya ketidaksantunan politik yang tidak menginginkan untuk berkompetisi secara fair," katanya di Surabaya (15/7). Menurut Airlangga Pribadi yang juga pengajar pada Departemen Politik FISIP Unair itu, ketidaksiapan elite politik berkompetisi itu menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi masih belum menjadi habitus (kebiasaan) dari elite politik di Jatim, apalagi dikemas dengan alasan regulasi untuk membenarkan ketidaksiapan itu. "Keputusan KPU memperlihatkan bahwa jajaran KPU Provinsi Jatim tidak melihat persoalan ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dengan mempertimbangkan begitu jelasnya berbagai kejanggalan-kejanggalan dalam proses seleksi kandidat," katanya. Mestinya, kata kandidat doktor (Ph.D.) pada Asia Research Center Murdoch University itu, KPU dapat menjaga integritas dengan berani mengambil langkah untuk mengulangi kembali dari awal proses pencalonan, khususnya calon terkait dengan dukungan ganda. "Mestinya KPU perlu melihat proses penjegalan politik melalui 'pembajakan' dukungan terhadap partai-partai nonparlemen yang sudah mendukung Khofifah-Herman sejak awal, lalu ada calon lain mengajukan nama yang sama dengan memainkan regulasi. Oleh karena itu, KPU harus mengulang untuk netralitas," katanya. Agaknya, pekerjaan rumah bagi KPU untuk menjadi penyelenggara pilkada dan bukan penyelenggara pilkadal masih cukup panjang karena peraturan yang melandasi keputusan-keputusannya masih belum kebal dari "permainan" yang seolah-olah halal, tetapi sejatinya menghalalkan segala cara. (ant/dik)