Ancaman PKS Cuma Gertak Sambal JAKARTA - Ancaman sejumlah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk meninggalkan sekretariat gabungan (set...
Ancaman PKS Cuma Gertak Sambal
JAKARTA - Ancaman sejumlah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk meninggalkan sekretariat gabungan (setgab) koalisi dinilai sebagai gertak sambal. Mengingat, rencana menjadi partai oposisi ini terbilang telat, sehingga justru akan menguntungkan Partai Demokrat. Pernyataan ini seperti dikemukakan Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens di Jakarta, Minggu (26/5). "Saya pikir ini gertak sambal yang tidak menarik, karena sudah terlambat. Tetapi, gertakan kecap ini justru akan dijilat oleh Partai Demokrat dengan mempersihakan (PKS) keluar," ujar Boni. Boni mengungkapkan, keinginan PKS untuk meninggalkan setgab sudah terjadi berulang kali, ketika partai merasa dirugikan oleh keputusan yang diambil Partai Demokrat. Bahkan, lanjut dia, sejak pembagian kekuasaan di pemerintahan, PKS juga merasa tidak mendapatkan porsi yang ideal. "PKS ini kan sebetulnya tidak pernah harmonis dengan Demokrat dalam beberapa persoalan, mulai dari pembagian jatah menteri di kabinet kemudian soal sumber sumber finansial untuk partai politik dan sebagainya," terang Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini. Namun demikian, jelas Boni, PKS selalu tidak memiliki keberanian untuk menjadi oposisi, karena partai membutuhkan posisi menteri di pemerintahan sebagai alat untuk menghimpun dana pemilihan umum (Pemilu). "Maka, hubungan yang tidak harmonis pun selalu ditutup-tutupi agar tidak muncul ke permukaan," ucapnya. Di sisi lain, lanjut dia, keberadaan PKS di setgab koalisi juga tidak terlepas dari keinginan Demokrat untuk memperkuat posisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, kata Boni, penilaian PKS terhadap hubungan yang saling membutuhkan tersebut dianggap kedua belah partai memiliki daya tawar yang sama kuat. "Tetapi saat ini, Demokrat pasti akan mempersilahkan, kalau PKS mau keluar," imbuhnya. Boni menjelaskan, pada dasarnya PKS sudah terlambat untuk meninggalkan Demokrat, terlebih lagi persoalan suap daging impor sudah semakin memperburuk citra PKS. "Mestinya ketika benih konflik itu terlihat, dia keluar dari koalisi dan mengambil peran sebagai oposisi dan itu sangat strategis. Tetapi, PKS terlambat, karena setelah dihajar kasus daging sapi, baru mengancam keluar dari koalisi," paparnya. Sejauh ini, ujar Boni, sebagian besar publik kadung menilai bahwa PKS telah tercoreng dengan kasus suap impor daging sapi yang menjerat Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Yang pada akhirnya merembet ke persoalan perselingkuhan, permainan kotor dengan pekerja seks komersial (PSK) hingga masalah perkawinan siri dengan siswi SMU. "Menurut saya, sekarang tampaknya PKS disorientasi, karena kasus daging sapi. Tetapi, saya pikir masyarakat kritis melihat ini," imbunya. Sebagaimana diketahui, PKS mengusung gerakan perbaikan citra, mulai dari mengubah moto partai menjadi "Cinta, Kerja dan Harmoni", padahal sebelumnya PKS memiliki slogan "Bersih, Jujur dan Adil". Menjelang Pemilu 2014, PKS juga mengubah citra dengan melawan arus opini dengan menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui wacana bahwa penanganan kasus impor daging sapi sudah dipolitisir. "Saya pikir ada upaya melakukan kompensasi dari mereka. PKS coba menarik persoalan ini ke persoalan lain, seperti KPK sudah dipolitisir, terus kemudian Demokrat bermain agenda politik dibalik kasus daging sapi," katanya. Boni menambahkan, bisa saja saat ini Demokrat merasa berada di atas angin, saat melihat persoalan yang tengah membelit PKS. Sebaliknya, lanjut dia, kader PKS akan memandang permasalahan yang tengah melingkupinya dinilai sebagai teori konspirasi yang sedang dimainkan Demokrat. "Orang-orang PKS pasti ada saja yang menuduh bahwa Demokrat memiliki andil menghajar PKS," ucapnya. Keluar Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Sulawesi Barat, Yuki Permana mengatakan, kader-kader PKS di wilayahnya ada yang menginginkan agar PKS keluar dari partai koalisi. "Suara kader ada, tetapi kami tidak semua, hanya suara perorangan," ujar Yuki di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mahfud Siddiq mengatakan, sejauh ini memang ada usulan dari berbagai pihak agar PKS keluar dari koalisi pemerintah. "Kalau Majelis Syura lebih fokus pada bagaimana menyikapi perkembangan isu kekinian yang diprediksi mempunyai imbas ke PKS sebagai sebuah institusi. Dalam hal ini kasus hukum Pak Luthfi Hasan Ishaaq," kata Mahfud. (gam/abd)
JAKARTA - Ancaman sejumlah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk meninggalkan sekretariat gabungan (setgab) koalisi dinilai sebagai gertak sambal. Mengingat, rencana menjadi partai oposisi ini terbilang telat, sehingga justru akan menguntungkan Partai Demokrat. Pernyataan ini seperti dikemukakan Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens di Jakarta, Minggu (26/5). "Saya pikir ini gertak sambal yang tidak menarik, karena sudah terlambat. Tetapi, gertakan kecap ini justru akan dijilat oleh Partai Demokrat dengan mempersihakan (PKS) keluar," ujar Boni. Boni mengungkapkan, keinginan PKS untuk meninggalkan setgab sudah terjadi berulang kali, ketika partai merasa dirugikan oleh keputusan yang diambil Partai Demokrat. Bahkan, lanjut dia, sejak pembagian kekuasaan di pemerintahan, PKS juga merasa tidak mendapatkan porsi yang ideal. "PKS ini kan sebetulnya tidak pernah harmonis dengan Demokrat dalam beberapa persoalan, mulai dari pembagian jatah menteri di kabinet kemudian soal sumber sumber finansial untuk partai politik dan sebagainya," terang Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini. Namun demikian, jelas Boni, PKS selalu tidak memiliki keberanian untuk menjadi oposisi, karena partai membutuhkan posisi menteri di pemerintahan sebagai alat untuk menghimpun dana pemilihan umum (Pemilu). "Maka, hubungan yang tidak harmonis pun selalu ditutup-tutupi agar tidak muncul ke permukaan," ucapnya. Di sisi lain, lanjut dia, keberadaan PKS di setgab koalisi juga tidak terlepas dari keinginan Demokrat untuk memperkuat posisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, kata Boni, penilaian PKS terhadap hubungan yang saling membutuhkan tersebut dianggap kedua belah partai memiliki daya tawar yang sama kuat. "Tetapi saat ini, Demokrat pasti akan mempersilahkan, kalau PKS mau keluar," imbuhnya. Boni menjelaskan, pada dasarnya PKS sudah terlambat untuk meninggalkan Demokrat, terlebih lagi persoalan suap daging impor sudah semakin memperburuk citra PKS. "Mestinya ketika benih konflik itu terlihat, dia keluar dari koalisi dan mengambil peran sebagai oposisi dan itu sangat strategis. Tetapi, PKS terlambat, karena setelah dihajar kasus daging sapi, baru mengancam keluar dari koalisi," paparnya. Sejauh ini, ujar Boni, sebagian besar publik kadung menilai bahwa PKS telah tercoreng dengan kasus suap impor daging sapi yang menjerat Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Yang pada akhirnya merembet ke persoalan perselingkuhan, permainan kotor dengan pekerja seks komersial (PSK) hingga masalah perkawinan siri dengan siswi SMU. "Menurut saya, sekarang tampaknya PKS disorientasi, karena kasus daging sapi. Tetapi, saya pikir masyarakat kritis melihat ini," imbunya. Sebagaimana diketahui, PKS mengusung gerakan perbaikan citra, mulai dari mengubah moto partai menjadi "Cinta, Kerja dan Harmoni", padahal sebelumnya PKS memiliki slogan "Bersih, Jujur dan Adil". Menjelang Pemilu 2014, PKS juga mengubah citra dengan melawan arus opini dengan menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui wacana bahwa penanganan kasus impor daging sapi sudah dipolitisir. "Saya pikir ada upaya melakukan kompensasi dari mereka. PKS coba menarik persoalan ini ke persoalan lain, seperti KPK sudah dipolitisir, terus kemudian Demokrat bermain agenda politik dibalik kasus daging sapi," katanya. Boni menambahkan, bisa saja saat ini Demokrat merasa berada di atas angin, saat melihat persoalan yang tengah membelit PKS. Sebaliknya, lanjut dia, kader PKS akan memandang permasalahan yang tengah melingkupinya dinilai sebagai teori konspirasi yang sedang dimainkan Demokrat. "Orang-orang PKS pasti ada saja yang menuduh bahwa Demokrat memiliki andil menghajar PKS," ucapnya. Keluar Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS Sulawesi Barat, Yuki Permana mengatakan, kader-kader PKS di wilayahnya ada yang menginginkan agar PKS keluar dari partai koalisi. "Suara kader ada, tetapi kami tidak semua, hanya suara perorangan," ujar Yuki di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mahfud Siddiq mengatakan, sejauh ini memang ada usulan dari berbagai pihak agar PKS keluar dari koalisi pemerintah. "Kalau Majelis Syura lebih fokus pada bagaimana menyikapi perkembangan isu kekinian yang diprediksi mempunyai imbas ke PKS sebagai sebuah institusi. Dalam hal ini kasus hukum Pak Luthfi Hasan Ishaaq," kata Mahfud. (gam/abd)