Akhir Kisah Tuhan Kedua di Bangkalan TAK BERKUTIK:...
Akhir Kisah Tuhan Kedua di Bangkalan
Setelah salat Magrib, mereka berdoa bersama. Isinya adalah rasa syukur atas penangkapan Fuad Amin oleh KPK. ’’Bagi kami, ini adalah kuasa Allah. Tidak ada Tuhan kedua di Bangkalan,’’ kata Ra Imam –sapaan akrab Imam Bukhori– dalam momen itu.
Ya, ungkapan tokoh yang biasa dipanggil Ra Imam itu adalah sebuah kiasan terhadap begitu mengguritanya dinasti kekuasaan yang dibangun Fuad Amin sejak 12 tahun silam di kabupaten paling barat Pulau Madura itu. Tidak hanya eksekutif dan legislatif, semua lini juga dikuasai dinasti yang dibangun ketua DPRD Bangkalan tersebut.
Tengok saja di DPRD Bangkalan saat ini. Partai Gerindra yang diketuai Fuad menjadi pemenang pemilu. Dari total 45 kursi di dewan, partai tersebut mendapat sepuluh kursi. Diikuti PDIP (tujuh kursi), serta PPP-Partai Demokrat-PKB (masing-masing lima kursi). Komposisi itulah yang membuat Fuad melenggang sebagai ketua dewan.
Tidak hanya menjadi parpol pemenang, dominasi dinasti Fuad juga terlihat dalam komposisi keanggotaan DPRD periode kali ini. Ada nama Abdul Latif Imron yang merupakan adik kandung Fuad. Politikus yang juga ketua DPC PPP Bangkalan itu menjadi salah seorang wakil ketua DPRD Bangkalan. Ada juga nama Bir Ali yang merupakan kerabat Fuad.
Sejumlah nama anggota DPRD Bangkalan yang terpilih juga ada hubunganya dengan ’’sang raja’’. Maklum saja, Fuad memiliki kemampuan mengintervensi parpol-parpol di Bangkalan. ’’Politik di Bangkalan didesain seolah-olah demokratis. Namun, sejatinya itu adalah politik dinasti. Semua partai kebagian kursi. Tapi, sejatinya penguasanya sama,’’ ujar Direktur Madura Corruption Watch Syukur.
Hegemoni kekuasaan Fuad terasa sejak pascareformasi, tepatnya ketika dia menduduki kursi anggota DPR periode 1999–2004. Maklum, kala itu Fuad adalah keturunan langsung Bani Kholil, keluarga besar ulama legendaris Madura Syaikhona Kholil. Tercatat, dia adalah anak Amin Imron, cucu Syaikhona Kholil. Status itulah yang membuat nama Ra Fuad begitu dihormati oleh warga Bangkalan.
Dari situ pula, dinasti politik trah Fuad juga begitu terasa di setiap periode pemilu. Contohnya, ketika Fuad tercatat sebagai pengurus PKB (waktu itu menjabat wakil ketua DPW PKB Jatim), partai tersebut juga selalu menjadi pemenang. Seperti pada Pemilu 1999 dan 2004, PKB mendapat 24 kursi.
Sedangkan, pada Pemilu 2009, PKB Bangkalan yang diketuai Fuad juga menjadi pemenang meski hanya mendapat sepuluh kursi. Konflik besar-besaran di PKB kala itu akhirnya membuat Fuad memilih hengkang dan berlabuh di Partai Gerindra.
Modal politik itu juga yang membuat dia begitu mulus saat maju sebagai kandidat bupati Bangkalan pada 2003. Sempat terlibat perebutan tiket penjalonan dengan Imam Bukhori, akhirnya Fuad melenggang sebagai kandidat yang diusung PKB. Hasilnya, dia menang mutlak.
Demikian juga saat Pilbup Bangkalan 2008. Tanpa ada tandingan, dia kembali duduk di kursi bupati kali kedua. Meskipun, dia sempat bermasalah gara-gara adanya dugaan menggunakan ijazah palsu saat maju dalam dua periode pilbup itu.
Tidak cukup sampai di situ.Setelah tidak bisa nyalon bupati, Ra Fuad berusaha melanjutkan dinastinya. Awalnya, dia berencana mencalonkan sang istri, Nyai Siti Masnuri Fuad Amin. Namun, akhirnya yang maju adalah sang anak, Makmun Ibnu Fuad yang akrab dipanggil Ra Momon. Hasilnya, sang putra mahkota yang maju berpasangan dengan Mondir Rofii berhasil mengalahkan pesaingnya, duet Nizar Zahro-Zulkofli.
Hasil pilbup Bangkalan juga menelurkan rekor. Pertama adalah perolehan suara Ra Momon sebanyak 90 persen serta tercatat sebagai bupati paling muda. Dia dilantik pada usia 26 tahun.
Jadilah, eksekutif dan legislatif di Bangkalan dikuasai trah Fuad. Sang anak sebagai bupati dan sang bapak sebagai ketua DPRD. Dalam prosesnya, tidak ada perubahan signifikan dalam pemerintahan era Ra Momon. Sebab, banyak yang menyebut sang putra mahkota hanya sebagai simbol. ’’Sebenarnya yang menjadi bupati tetap Ra Fuad,’’ kata Syukur.
Lantas, bagaimana dia membangun dinasti kekuasaan hingga bisa sedemikian menggurita? Selain trah Bani Kholil yang membuatnya begitu disegani, kemampuan Fuad menggunakan jaringan-jaringan penting di Bangkalan menjadi faktor utama. Ada tiga jaringan yang benar-benar dikuasai sang raja Bangkalan. Yakni, jaringan klebun (kepala desa, Red), jaringan preman, dan birokrasi.
Untuk jaringan klebun misalnya, Fuad menempatkan orang-orangnya sebagai kepala desa dengan berbagai metode. Kasus terbaru, nasib kepala desa di Bangkalan saat ini mayoritas menggantung. Di sana, 182 jabatan klebun di antara 281 dijabat oleh pejabat sementara (Pjs). Penunjukan Pjs itu bukan karena ada masalah serius yang menghalangi pelantikan, tapi memang cara Fuad menempatkan orang-orangnya sebagai klebun.
Biasanya Pjs hanya menjabat dalam waktu tertentu. Tapi, di Bangkalan, jabatan PJs kepala desa tidak terbatas. Ada yang menjabat belasan tahun, 20 tahun, dan bahkan 30 tahun. Selama ini Fuad selalu menolak melantik klebun yang dipilih oleh warganya. Dia lebih sreg mengangkat Pjs dari orang yang dipilihnya. Karena itulah, para klebun itu selalu siap melakukan apa saja untuk Fuad.
Jaringan kedua yang ’’dipelihara’’ dinasti Ra Fuad adalah preman. Keberadaan mereka dimanfaatkan untuk mengintimidasi warga, terutama untuk hajatan politik.
Seperti kasus Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim 2008 yang harus dilakukan tiga putaran gara-gara hasil coblosan di Bangkalan bermasalah. Jadilah, ada putaran ketiga di kabupaten itu. Bahkan, Kapolda kala itu Irjen Herman Sumawireja menemukan banyak kasus. Mulai kertas suara dicoblos petinggi desa hingga mobilisasi anak di bawah umur untuk mencoblos kandidat yang didukung dinasti Bangkalan.
Cara ketiga yang dilakukan untuk melanggengkan dinasti politik itu menguasai jaringan birokrasi. Jangan heran, sebagian besar penghuni pemkab maupun instansi di bawahnya merupakan orang-orang ’’pilihan’’. Bisa keluarga, kerabat, atau orang yang sudah dipercaya. (tim jp)