Rekrut Hakim Tipikor Perlu Ditinjau Ulang JAKARTA-Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dinilai sudah dalam status siaga satu lantaran...
Rekrut Hakim Tipikor Perlu Ditinjau Ulang
JAKARTA-Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dinilai sudah dalam status siaga satu lantaran kerap memvonis terdakwa koruptor dengan hukuman yang ringan. Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Mahkamah Agung (MA) moratorium atas seleksi hakim-hakim tipikor, apalagi seleksi yang diakukan MA kurang maksimal dan ketat dalam memilih hakim-hakim Tipikor. Ini terbukti dengan tertangkapnya 5 hakim tipikor oleh KPK di daerah. "Stop sementara penerimaan hakim untuk pengadilan Tipikor. Masih banyak kinerja hakim Tipikor yang belum maksimal memvonis terdakwa korupsi," kata Koordinator bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho saat jumpa pers "Trend Vonis Korupsi Semester I 2013 : Lampu Kuning Pengadilan Tipikor", di Kantor ICW di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (28/7). Berdasarkan catatan ICW, sepanjang tahun 2012 sampai tahun 2013 di pengadilan Tipikor seluruh Indonesia, terdapat 143 kasus korupsi yang terdakwanya divonis bebas, vonis kurang dari 1 tahun sebanyak 185 kasus, dan hanya 35 perkara yang divonis selama 5 sampai 10 tahun. Hasil pemantauan ICW, setelah adanya Tipikor di 33 Provinsi, dari tahun 2010 sampai tahun 2013, kecenderungan memvonis para koruptor dengan hukuman yang ringan, satu tahun sampai lima tahun, itu sudah siaga satu. âJadi, sudah lampu kuning untuk vonis kasus korupsi,â pinta dia. Dia pun mengaku sangat prihatin dengan rendahnya hukuman yang diberikan kepada terdakwa korupsi. "Kita minta MA untuk meninjau ulang keberadaan Pengadilan Tipikor, dan menghentikan sementara proses rekrutmen sebelum adanya evaluasi secara keseluruhan. Bisa jadi hakim-hakim yang sekarang malah akan menjadi duri dalam daging di pengadilan Tipikor," jelas dia. Selain itu, kata Emerson, ada lima orang hakim Tipikor didaerah yang tertangkap dengan masalah korupsi. "Beberapa tahun lalu, ada lima orang hakim Tipikor tertangkap kasus Korupsi. Ini bom waktu buat Tipikor," lanjut dia. Kata dia, ada beberapa terdakwa koruptor yang yang divonis 10 tahun penjara oleh Hakim Tipikor, tapi presentasenya sangat kecil. "Vonisnya memiliki kecenderungan masih ringan. Kalau kita lihat tren tahun 2005 sampai dengan 2013, memang ada penurun tapi cenderung masih banyak presentase yang divonis ringan,"imbuh dia. Kasus korupsi, kata dia, yang ditangani oleh Tipikor dari tahun 2010 sampai tahun 2013, negara mengalami kerugian hingga Rp6,4 Triliun. "Kasus korupsi yang paling banyak itu anggota DPRD ada 234 orang, dan yang kedua pegawai dinas sebanyak 231 orang, sisanya staf pemerintah dan mantan pejabat. Aparat penegak hukum masih kecil," lanjutnya. "Vonis bersalah yang dijatuhkan belum memberikan efek jera terhadap pelaku. Dan vonis rendah Tipikor sangat melukai rasa keadilan publik," kata dia. Tidak Gegabah Sementara itu, pengacara tersangka kasus suap di MA, Mario Carmelio Bernardo, Â Tommy Sihotang, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak secara terburu-buru menetapkan status tersangka kepada kliennya tersebut. Â Seharusnya tersangka penyuap staf pendidikan dan pelatihan MA, Djodi Supratman, itu disidangkan kode etik profesi terlebih dahulu. "Kasus Mario itu harusnya ada sidang kode etik. Tanya dulu dia di sana itu ngapain? Apa yang dia cari? Apa kepentingannya? Jangan main ditangkap, lalu langsung digeledah ruang kantornya," ujar Tommy. Tommy, yang juga Wakil Ketua Umum Kongres Advokat Indonesia, menegaskan Mario tidak akan melakukan penyuapan untuk melancarkan perkara yang ditanganinya di Mahkamah Agung. Karena uang yang disita KPK jumlahnya sangat kecil untuk memberikan suap kepada tiga hakim agung. "Saya tidak yakin itu kasus suap. Ada tiga alasan. Yang pertama, Mario itu bukan pengacara kasus di sana. Kedua, Djodi Supratman itu kerja di litbang yang tidak ada kasusnya, kalau mau menyuap langsung saja ke panitera. Ketiga, jumlah uang sebesar Rp80 juta itu sedikit sekali untuk dibagi ke tiga hakim agung," ungkap dia. Dia berasumsi, angka Rp80 juta yang disita KPK dinilai tidak wajar. Jika uang tersebut dibagi kepada empat hakim agung, maka per orang akan mendapat Rp20 juta. "Kalau Rp80 juta dibagi tiga atau empat hakim, artinya satu hakim dapat Rp20 juta. Mana cukup duit segitu. Buat makan siangnya saja kurang," pungkas dia. (gam/abd/cea)
JAKARTA-Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dinilai sudah dalam status siaga satu lantaran kerap memvonis terdakwa koruptor dengan hukuman yang ringan. Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Mahkamah Agung (MA) moratorium atas seleksi hakim-hakim tipikor, apalagi seleksi yang diakukan MA kurang maksimal dan ketat dalam memilih hakim-hakim Tipikor. Ini terbukti dengan tertangkapnya 5 hakim tipikor oleh KPK di daerah. "Stop sementara penerimaan hakim untuk pengadilan Tipikor. Masih banyak kinerja hakim Tipikor yang belum maksimal memvonis terdakwa korupsi," kata Koordinator bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho saat jumpa pers "Trend Vonis Korupsi Semester I 2013 : Lampu Kuning Pengadilan Tipikor", di Kantor ICW di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (28/7). Berdasarkan catatan ICW, sepanjang tahun 2012 sampai tahun 2013 di pengadilan Tipikor seluruh Indonesia, terdapat 143 kasus korupsi yang terdakwanya divonis bebas, vonis kurang dari 1 tahun sebanyak 185 kasus, dan hanya 35 perkara yang divonis selama 5 sampai 10 tahun. Hasil pemantauan ICW, setelah adanya Tipikor di 33 Provinsi, dari tahun 2010 sampai tahun 2013, kecenderungan memvonis para koruptor dengan hukuman yang ringan, satu tahun sampai lima tahun, itu sudah siaga satu. âJadi, sudah lampu kuning untuk vonis kasus korupsi,â pinta dia. Dia pun mengaku sangat prihatin dengan rendahnya hukuman yang diberikan kepada terdakwa korupsi. "Kita minta MA untuk meninjau ulang keberadaan Pengadilan Tipikor, dan menghentikan sementara proses rekrutmen sebelum adanya evaluasi secara keseluruhan. Bisa jadi hakim-hakim yang sekarang malah akan menjadi duri dalam daging di pengadilan Tipikor," jelas dia. Selain itu, kata Emerson, ada lima orang hakim Tipikor didaerah yang tertangkap dengan masalah korupsi. "Beberapa tahun lalu, ada lima orang hakim Tipikor tertangkap kasus Korupsi. Ini bom waktu buat Tipikor," lanjut dia. Kata dia, ada beberapa terdakwa koruptor yang yang divonis 10 tahun penjara oleh Hakim Tipikor, tapi presentasenya sangat kecil. "Vonisnya memiliki kecenderungan masih ringan. Kalau kita lihat tren tahun 2005 sampai dengan 2013, memang ada penurun tapi cenderung masih banyak presentase yang divonis ringan,"imbuh dia. Kasus korupsi, kata dia, yang ditangani oleh Tipikor dari tahun 2010 sampai tahun 2013, negara mengalami kerugian hingga Rp6,4 Triliun. "Kasus korupsi yang paling banyak itu anggota DPRD ada 234 orang, dan yang kedua pegawai dinas sebanyak 231 orang, sisanya staf pemerintah dan mantan pejabat. Aparat penegak hukum masih kecil," lanjutnya. "Vonis bersalah yang dijatuhkan belum memberikan efek jera terhadap pelaku. Dan vonis rendah Tipikor sangat melukai rasa keadilan publik," kata dia. Tidak Gegabah Sementara itu, pengacara tersangka kasus suap di MA, Mario Carmelio Bernardo, Â Tommy Sihotang, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak secara terburu-buru menetapkan status tersangka kepada kliennya tersebut. Â Seharusnya tersangka penyuap staf pendidikan dan pelatihan MA, Djodi Supratman, itu disidangkan kode etik profesi terlebih dahulu. "Kasus Mario itu harusnya ada sidang kode etik. Tanya dulu dia di sana itu ngapain? Apa yang dia cari? Apa kepentingannya? Jangan main ditangkap, lalu langsung digeledah ruang kantornya," ujar Tommy. Tommy, yang juga Wakil Ketua Umum Kongres Advokat Indonesia, menegaskan Mario tidak akan melakukan penyuapan untuk melancarkan perkara yang ditanganinya di Mahkamah Agung. Karena uang yang disita KPK jumlahnya sangat kecil untuk memberikan suap kepada tiga hakim agung. "Saya tidak yakin itu kasus suap. Ada tiga alasan. Yang pertama, Mario itu bukan pengacara kasus di sana. Kedua, Djodi Supratman itu kerja di litbang yang tidak ada kasusnya, kalau mau menyuap langsung saja ke panitera. Ketiga, jumlah uang sebesar Rp80 juta itu sedikit sekali untuk dibagi ke tiga hakim agung," ungkap dia. Dia berasumsi, angka Rp80 juta yang disita KPK dinilai tidak wajar. Jika uang tersebut dibagi kepada empat hakim agung, maka per orang akan mendapat Rp20 juta. "Kalau Rp80 juta dibagi tiga atau empat hakim, artinya satu hakim dapat Rp20 juta. Mana cukup duit segitu. Buat makan siangnya saja kurang," pungkas dia. (gam/abd/cea)