Raperda Tuna Aksara Al Qurâan Akan Bermasalah SUMENEP - Ketua Dewan Pendidikan Sumenep (DPS) Kamalil Irsyad mempersolakan rencana DPRD set...
Raperda Tuna Aksara Al Qurâan Akan Bermasalah
SUMENEP - Ketua Dewan Pendidikan Sumenep (DPS) Kamalil Irsyad mempersolakan rencana DPRD setempat akan membahas rencangan peraturan daerah tuna aksara Al Qurâan. Menurutnya, pembahasan raperda itu harus dikaji ulang dengan melibatkan pihak-pihak terkait, seperti guru ngaji. âKami di DPS sudah melayangkan surat ke Bupati, tembusannya ke sejumlah instansi terkait agar raperda itu diuji publik dahulu,â katanya, Sabtu (2/2). Ia menilai, raperda tersebut akan memarjinalkan guru ngaji dan membuat pengajian Al Qurâan di masyarakat akan kaku, bahkan terlalu birokratis. Namun, sejak awal Ketua DPRD Sumenep KH. Imam Hasyim menepis raperda tersebut akan memarginalkan guru ngaji dan kiai. âMunculnya raperda ini, bukan tidak percaya kepada kiai maupun guru ngaji yang ada di setiap desa di Sumenep ini. Tapi, lebih menekankan agar anak-anak di Sumenep benar-benar sudah bisa mengaji sejak pendidikan tingkat dasar,â katanya (Koran Madura, 1/2). Menurut Sekretaris PCNU Sumenep A. Dardiri Zubairi tujuan dari raperda tersebut baik, tapi ada beberapa hal yang perlu dicermati dan diperhatikan pada raperda tersebut. Raperda tersebut jika diterapkan akan kesulitan untuk mengakomudasi bentuk-bentuk pengajaran Al Qurâan yang demikian kaya. âDalam masyarakat saya ada bentuk pengajaran Al Qurâan yang relatif formal seperti TPA, tetapi ada yang tidak formal seperti langgar-langgar yang diasuh oleh kiai kampung secara personal dengan keikhlasanya yang tinggi membimbing anak belajar membaca Al Qurâan,â katanya dalam blog pribadinya. Ia juga mempertanyakan siapa yang akan jadi penguji untuk mendapatkan legalitas. âJika perda ini diterapkan maka di seluruh SMP/MTs harus ada penguji yang ditugasi secara khusus melakukan tes baca Al Qurâan. Standar pembacaan memang merujuk kepada ilmu tajwid (disiplin ilmu yang membahas tentang tata cara membaca Al Qurâan). Tetapi yang harus disadari, meski rujukan yang dipakai sama, kemampuan tiap orang berbeda dalam kefasihan membaca Al Qurâan,â jelasnya. âJika ternyata banyak yang tidak lulus baca Al Qurâan, bagaimana bimbingan akan dilakukan? Taruh saja misalnya, di sebuah SMP/MTs kuota siswa yang mau diterima 200 siswa. Yang tidak lulus 150 siswa, cukupkah guru agama di sekolah itu yang akan melakukan pembimbingan? Nah ini baru pengandaian di satu sekolah, terus bagaimana jika di semua sekolah yang jumlahnya ratusan di satu kabupaten ternyata juga banyak yang tidak lulus? Mungkin ada yang bilang gampang, tinggal mengangkat guru pembimbing. Kan ada APBD?,â ujarnya. Anggota Komisi D A. Salim memaparkan anggapan raperda tersebut menimbulkan kesan lebih tinggi dari pada Al Qurâan dan akan menghambat perkembanngan Islam itu terlalu berlebihan. âPerda ini kebutuhan masyarakat umum. Sumenep sebagai daerah religius perlu didukung oleh perda tersebut,â terangnya, Sabtu (2/2). Dardiri berharap, untuk menggairahkan kembali membaca Al Qurâan di kembalikan saja kepada masyarakat sendiri. âBentuknya bukan dengan jalan membuat perda, tapi melakukan gerakan penyadaran secara kultural,â katanya. (athink/mk)
SUMENEP - Ketua Dewan Pendidikan Sumenep (DPS) Kamalil Irsyad mempersolakan rencana DPRD setempat akan membahas rencangan peraturan daerah tuna aksara Al Qurâan. Menurutnya, pembahasan raperda itu harus dikaji ulang dengan melibatkan pihak-pihak terkait, seperti guru ngaji. âKami di DPS sudah melayangkan surat ke Bupati, tembusannya ke sejumlah instansi terkait agar raperda itu diuji publik dahulu,â katanya, Sabtu (2/2). Ia menilai, raperda tersebut akan memarjinalkan guru ngaji dan membuat pengajian Al Qurâan di masyarakat akan kaku, bahkan terlalu birokratis. Namun, sejak awal Ketua DPRD Sumenep KH. Imam Hasyim menepis raperda tersebut akan memarginalkan guru ngaji dan kiai. âMunculnya raperda ini, bukan tidak percaya kepada kiai maupun guru ngaji yang ada di setiap desa di Sumenep ini. Tapi, lebih menekankan agar anak-anak di Sumenep benar-benar sudah bisa mengaji sejak pendidikan tingkat dasar,â katanya (Koran Madura, 1/2). Menurut Sekretaris PCNU Sumenep A. Dardiri Zubairi tujuan dari raperda tersebut baik, tapi ada beberapa hal yang perlu dicermati dan diperhatikan pada raperda tersebut. Raperda tersebut jika diterapkan akan kesulitan untuk mengakomudasi bentuk-bentuk pengajaran Al Qurâan yang demikian kaya. âDalam masyarakat saya ada bentuk pengajaran Al Qurâan yang relatif formal seperti TPA, tetapi ada yang tidak formal seperti langgar-langgar yang diasuh oleh kiai kampung secara personal dengan keikhlasanya yang tinggi membimbing anak belajar membaca Al Qurâan,â katanya dalam blog pribadinya. Ia juga mempertanyakan siapa yang akan jadi penguji untuk mendapatkan legalitas. âJika perda ini diterapkan maka di seluruh SMP/MTs harus ada penguji yang ditugasi secara khusus melakukan tes baca Al Qurâan. Standar pembacaan memang merujuk kepada ilmu tajwid (disiplin ilmu yang membahas tentang tata cara membaca Al Qurâan). Tetapi yang harus disadari, meski rujukan yang dipakai sama, kemampuan tiap orang berbeda dalam kefasihan membaca Al Qurâan,â jelasnya. âJika ternyata banyak yang tidak lulus baca Al Qurâan, bagaimana bimbingan akan dilakukan? Taruh saja misalnya, di sebuah SMP/MTs kuota siswa yang mau diterima 200 siswa. Yang tidak lulus 150 siswa, cukupkah guru agama di sekolah itu yang akan melakukan pembimbingan? Nah ini baru pengandaian di satu sekolah, terus bagaimana jika di semua sekolah yang jumlahnya ratusan di satu kabupaten ternyata juga banyak yang tidak lulus? Mungkin ada yang bilang gampang, tinggal mengangkat guru pembimbing. Kan ada APBD?,â ujarnya. Anggota Komisi D A. Salim memaparkan anggapan raperda tersebut menimbulkan kesan lebih tinggi dari pada Al Qurâan dan akan menghambat perkembanngan Islam itu terlalu berlebihan. âPerda ini kebutuhan masyarakat umum. Sumenep sebagai daerah religius perlu didukung oleh perda tersebut,â terangnya, Sabtu (2/2). Dardiri berharap, untuk menggairahkan kembali membaca Al Qurâan di kembalikan saja kepada masyarakat sendiri. âBentuknya bukan dengan jalan membuat perda, tapi melakukan gerakan penyadaran secara kultural,â katanya. (athink/mk)